Perhutanan Sosial Didorong untuk Minimalkan Konflik

Perhutanan Sosial Didorong untuk Minimalkan Konflik

PALEMBANG, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan menargetkan 40.000 hektar lahan lagi di kawasan hutan dapat masuk dalam program perhutanan sosial pada 2019. Jumlah itu menambah izin perhutanan sosial yang sudah ada, yakni 98.947 hektar. Perhutanan sosial dinilai mampu meminimalkan konflik di suatu kawasan kehutanan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Selatan Pandji Tjahjanto, Kamis (28/3/2019), di Palembang, mengatakan, hingga Desember 2018, pemerintah sudah menerbitkan 93 izin perhutanan sosial di Sumsel dengan luas sekitar 98.947 hektar yang dikelola 14.511 kepala keluarga yang tinggal di sekitar kawasan itu.

Izin perhutanan sosial yang diterbitkan meliputi hutan desa sebanyak 23 unit dengan luas 32.961 hektar, hutan kemasyarakatan sebanyak 41 unit dengan luas sekitar 21.529 hektar, hutan tanaman rakyat sebanyak 23 unit seluas 16.258 hektar, kemitraan kehutanan sebanyak 5 unit dengan luas 27.862 hektar, dan hutan adat sebanyak 1 unit dengan luas 336 hektar.

Dengan izin perhutanan sosial, lanjut Pandji, masyarakat memiliki akses untuk mengelola kawasan hutan secara lebih optimal dan tidak lagi dianggap sebagai perambah. Alhasil, sumber daya di dalam kawasan hutan dapat dikembangkan dan daerah aliran sungai dan keanekaragaman hayati dapat terjaga.

Selain itu, keberadaan masyarakat adat semakin kuat, konflik pun dapat diminimalkan. ”Bahkan, masyarakat dapat mengembangkan kawasan hutan itu menjadi kawasan ekowisata,” katanya.

Izin baru

Pada 2019 ini, ujar Pandji, Pemerintah Provinsi Sumsel menargetkan sekitar 40.000 hektar lahan lagi di dalam kawasan hutan dapat dimasukkan dalam program perhutanan sosial. Berdasarkan Peta Indikatif Perhutanan Sosial (PIAPS), sampai 2021, sebanyak 330.000 hektar lahan di kawasan hutan yang ada di Sumsel masuk dalam program perhutanan sosial.

Dengan dikeluarkannya izin ini, ungkap Pandji, masyarakat juga berpeluang untuk mendapatkan bantuan pendanaan serta pendampingan buat mengelola kawasan hutan tersebut. ”Aktivitas setelah keluarnya izin inilah yang harus terus didorong agar kemanfaatan ekonomi dapat dirasakan masyarakat,” katanya.

Ketua Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial Sumsel Rudjito Agus Suwignyo mengatakan, keberadaan perhutanan sosial sudah dirasakan beberapa kelompok tani yang memanfaatkan  lahan perhutanan sosial untuk menanam sejumlah komoditas yang menghasilkan, seperti kopi, karet, aren, dan madu, serta beberapa hasil hutan lain. Hanya saja, memang diperlukan pendampingan agar pengembangan sumber daya dapat lebih terarah, termasuk terkait dengan pemasaran hasil dan juga permodalan.

Karena itu, lanjut Rudjito, untuk mengintegrasikan koordinasi terkait dengan pengembangan kawasan perhutanan sosial, akan digelar sarasehan pada 31 Maret-2 April 2019 di Palembang. Sarasehan menghadirkan sejumlah pemangku kepentingan yang membahas tentang pengembangan dan pemanfaatan kawasan perhutanan sosial. ”Dengan pertemuan ini, diharapkan warga yang tinggal di kawasan perhutanan sosial dapat lebih optimal terutama dalam membuat rencana kerja usaha (RKU),” katanya.

Kepala Bidang  Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat Dinas Kehutanan Sumsel Achmad Taufik mengatakan, selama ini beragam konflik di sekitar kawasan hutan kerap terjadi di Sumsel. Konflik terjadi antara masyarakat dan pemerintah, dalam hal ini kesatuan pengelolaan hutan (KPH), masyarakat dengan perusahaan pemegang izin konsesi, dan masyarakat dengan masyarakat.

Dengan adanya perhutanan sosial, potensi konflik lahan di Sumsel pun dapat diminimalkan karena adanya kejelasan masyarakat yang berhak mengelola lahan ataupun mengenai batas wilayah. ”Dengan diterbitkannya izin perhutanan sosial, masyarakat memiliki kekuatan hukum dan tidak lagi dianggap perambah hutan,” katanya.

Tenaga pendamping

Di sisi lain, lanjut Achmad, pemerintah juga memiliki beberapa tantangan, yakni kurangnya tenaga pendamping atau penyuluh  untuk membina masyarakat penerima izin untuk mengelola hutan. Dari 93 izin yang dikeluarkan, jumlah penyuluh yang ada di 14 KPH di Sumsel hanya 55 orang. ”Itu pun penyebarannya tidak merata. Ada KPH yang tidak memiliki tenaga penyuluh sama sekali dan ada KPH yang tenaga penyuluhnya berlebih,” kata Achmad.

Padahal, keberadaan tenaga penyuluh sangat diperlukan untuk mendampingi para kelompok petani hutan untuk mengelola hutan, termasuk membuat RKU. ”RKU ini penting untuk mengetahui skema pengelolaan hutan dan juga mempermudah untuk mendapatkan modal dari perbankan,” katanya.

Karena itu, ujar Achmad, pihaknya telah mengusulkan tambahan tenaga penyuluh kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mengisi kekurangan tenaga penyuluh di Sumsel. ”Dalam waktu dekat ada 40 tenaga penyuluh yang ditugaskan untuk mendampingi kelompok tani hutan di Sumsel,” katanya. Ada juga bantuan dari masyarakat rimbawan dan juga bantuan dari lembaga swadaya masyarakat lingkungan.

Anggota Tim Penggerak Percepatan Perhutanan Sosial, Rakhmat Hidayat, menuturkan, hingga 27 Desember 2019, luas lahan yang sudah masuk dalam program perhutanan sosial mencapai 2.504.297 hektar dengan total surat keputusan (SK) mencapai 5.391 SK yang diberikan kepada 586.793 kepala keluarga. Adapun pada 2019 pemerintah menargetkan minimal 1.000.000 hektar lahan dapat dimasukkan dalam program perhutanan sosial.

Untuk mempercepat hal itu, sejumlah pihak dilibatkan untuk mempercepat proses pengusulan hingga pemberian izin. ”Walaupun demikian, proses verifikasi harus benar-benar cermat agar tidak ada penumpang gelap yang masuk dalam program ini,” katanya. (Sumber Rahma Purna Jati, KOMPAS).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *