-
By:
- admin
- No comment
Perhutanan Sosial yang Tepat Sasaran
Prinsip penting dalam proses distribusi manfaat kegiatan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut (REDD+) adalah adanya perubahan paradigma bahwa masyarakat akan menjadi subyek dari suatu program maupun kebijakan. Hal ini mengandung arti masyarkat selain berhak mendapatkan manfaat juga berkewajiban untuk ikut menjamin keberhasilan program.
Prinsip ini kemudian menjadi jiwa dalam program Perhutanan Sosial dari Proyek REDD+ UNDP Indonesia – KLHK. Melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pemerintah Indonesia te;ah menargetkan areal pengelolaan hutan oleh masyarakat melalui skema Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan adat dan Kemitraan Kehutanan.
Target 12,7 hektar merupakan bagian perwujudan NAWACITA 7, yaitu kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik dan telah tercantum dalam RPJMN 2015-2-19. Tepat sasaran adalah kata kunci dari arahan Presiden RI – Joko Widodo terkait program Perhutanan Sosial. Namun proses penerusan informasi secara parsial dan keterbatasan masyarakat mengakses informasi seringkali membuat inisiatif Pemerintah terhenti di tengah jalan atau tidak tepat sasaran. Menurut Joko Widodo bahwa sasaran dari program Perhutanan Sosial adalah untuk masyarakat yang bermukim di sekitar hutan dan tergantung pada pemanfaatan sumber daya hutan dan kelestarian hutan, masyarakat yang berlahan sempit atau tidak memiliki lahan serta masyarakat yang berada dibawah garis kemiskinan.
Program REDD+ UNDP Indonesia bekerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mendukung pengembangan dan keterbukaan akses melalui inisiatif Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) dan platform pelacakan areal kelola masyarkat yang terbuka dan dapat ditelusuri berupa Akses Kelola Perhutanan Sosial (AKPS).
Secara kolektif bersama dengan inisiatif lain dari para mitra, PIAPS dan AKPS memungkinkan program Perhutanan Sosial berjalan tepat sasaran dan memastikan upaya masyarakat untuk berperan aktif dalam program terjamin dengan terintegrasinya program Perhutanan Sosial ke dalam rencana pembangunan daerah.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar dalam acara dialog dengan masyarakat di Kabupaten Pemalang beberapa waktu lalu menyatakan, Program Perhutanan Sosial adalah program pemerintah yang dijalankan untuk bisa mendukung kesejahteraan warga desa, namun pemerintah tetap menjalankan pengawasan dengan ketat.
Melalui program ini masyarakat mendapat perlindungan berupa pengukuhan dari pemerintah untuk mengelola hutan, telah ada izin pemanfaatan, bukan hak miliki, dan berlaku selama 35 tahun. Menteri Siti menjelaskan bahwa hutan sosial dasarnya adalah pengelolaan hutan bersama masyarakat, hutan sosial dapat berbentuk ijin masyarakat, atau kerjasama dengan Perhutani dalam bentuk Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Menteri Siti menegaskan, saat ini sudah tidak boleh lagi ada masyarakat yang ketakutan, dikejar-kejar karena bersentuhan dengan kehutanan. Bukan rahasia lagi, selama bertahun-tahun berderet kasus menimpa warga masyarakat pinggiran hutan.
Untuk mendukung program Perhutanan Sosial, pemerintah menyiapkan berbagai program pendukung untuk petani yakni penyediaan bibit, pupuk, modal kerja dan sebagainya. Bahkan pemerintah siap mempertemukan hasil-hasil dari program perhutanan sosial kepada para calon pembelinya langsung alias memfaslitasi pemasaran produk yang dihasilkan oleh program perhutanan sosial.
Ada lima bentuk skema implementasi Perhutanan Sosial, yaitu Hutan Desa (HD), Hutan Adat (HA), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm), dan Pola Kemitraan. Saat ini beberapa sudah berhasil seperti Hutan Nagari di Sumatera Barat, HKm Kalibiru di Yogyakarta, dan HKm Tanggamus di Lampung. Target fasilitasi selanjutnya adalah di Jawa Tengah Skeitar 60-80 ribu Ha, di Jawa Barat sekitar 120 ribu Ha, dan di Jawa Timur sekitar 180 Ha.