Perhutanan Sosial : Mengembalikan Karakter Arif Masyarakat Terhadap Hutan

Perhutanan Sosial : Mengembalikan Karakter Arif Masyarakat Terhadap Hutan

Berdasarkan Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) yang di terbitkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luas areal yang diperuntukan untuk pengembangan perhutanan sosial di Sumatera Selatan sebesar 586.393 hektare. Dan berdasarkan catatan Hutan Kita Institut (HaKI) hingga 2016 baru seluas  81.827 hektre yang terwujud atau 14 persen dari target. Berbagai kendala dalam pencapaian target perhutanan sosial seperti keterbatasan dana yang dialokasikan pemerintah, rendahnya tingkat “kepercayan” antara para pemangku kepentingan, dukungan dari pemerintah daerah belum maksimal dan rendahnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan manajemen.

Perhutanan Sosial sebaiknya tidak hanya dipahami sebagai upaya peningkatan ekonomi masyarakat di sekitar maupun di dalam hutan dengan terbukanya akses terhadap hutan. Tapi juga dipahami sebagai wujud penyelamatan bentang alam bersama manusia dan peradabannya.

Jika pembangunan Perhutanan Sosial mengedepankan pendekatan ekonomi , jelas akan kalah bersaing dengan pelaku usaha yang mengeksplorasi sumber daya alam yang mampu menjamin percepatan pertubuhan ekonomi bagi masyarakat.

Jika dipahami sebagai bentng alam Sriwijaya,bukan hanya target ekonomi yang akan tercapai tetapi juga kelestarian sosial. Masyarakat Sumatra Selatan arif dengan alam mereka membagi wilayah hutan dalam beberapa fungsi. Misalnya, hutan larangan sebagai wilayah tangkapan air dan tempat hidup satwa yang saat ini dilindungi seperti gajah dan harimau. Kemudian hutan adat yang digunakan sebagai pemenuhan akan kayu dan obat-obatan, hutan ini hanya dimanfaatkan sesuai kebutuhan dan ada proses pelestarian disana. Lalu, ladang untuk berkebun buahan atau yang menghasilkan seperti karet dan kopi, serta wilayah persawahan atau pertanian, dan sebagian kecil untuk pemukiman.

Namun, perlakuan tersebut mulai tergerus oleh para pelaku usaha. Selanjutnya, melahirkan dampak rusaknya hutan dan menjadi konflik anatara masyarakat dengan negara dan pelaku usaha dalam mengakses lahan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *