Perhutanan Sosial Bukan Barang Baru

Perhutanan Sosial Bukan Barang Baru

Kebijakan percepatan perhutanan sosial dikuatkan melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PERMENLHK) No. 83 tahun 2016. Kebijakan ini berevolusi sejak konsep ini diperkenalkan oleh FAO di seluruh dunia pada tahun ’60-an sebagai community forestry. Di Indonesia, konsep ini mulai ramai dibicarakan dan digiatkan oleh LSM pada awal tahun ’90-an dan pada akhir tahun ‘90an itulah pemerintah Indonesia memulai skema hutan kemasyarakatan.

Kemunculan bentuk pertama perhutanan sosial pada awal ‘90an karena adanya kesenjangan antara pengelolaan hutan oleh perusahaan dengan masyarakat. Saat itu, 98% wilayah kehutanan dikuasai oleh perusahaan besar, dan sisanya merupakan hutan konservasi. Kawasan hutan menjadi wilayah yang sakral karena masyarakat lokal tidak boleh masuk dan tidak boleh mengambil hasil hutan tanpa ijin. Kondisi yang menimbulkan konflik atas kepentingan lahan dan hasil-hasil hutan ini mendorong penggiat LSM lingkungan dan kehutanan untuk memfasilitasi dibukanya keran perijinan agar masyarakat bisa ikut mengelola dan sejahtera dari hasil hutan. Alih-alih memberikan akses bagi masyarakat untuk memanfaatkan hasil hutan baik kayu maupun non kayu. Meskipun demikian, disadari bahwa semangat perhutanan sosial saat itu terbatas pada penguasaan wilayah – daripada dikuasai oleh perusahaan, lebih baik diambil oleh masyarakat dan pemerintah. Selain itu inisiatif untuk menyeimbangkan perijinan pengelolaan hutan dengan perhutanan sosial dan perusahaan tidak bisa dibandingkan apple to apple – dalam konteks masyarakat perlu ada usaha untuk membangun kondisi pemungkin seperti peningkatan kapasitas dan kelembagaan masyarakat.

Konstelasi pemerintah pusat juga berubah seiring perubahan kebijakan perhutanan sosial. Perhutanan sosial mulai diperkenalkan Departemen Kehutanan pada tahun 1996, dikemas oleh akademisi sebagai community forestry dan ditangani langsung oleh Direktorat Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS). Dulu kebijakan terkait perhutanna sosial terkotak-kotak tergantung skemanya, baik hutan kemasyarakatan, hutan adat, hutan desa, hutan kemitraan maupun hutan tanaman rakyat.

Kini perhutanan sosial langsung ditangani oleh Direktorat Direktorat Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) dibawah Direktorat Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial (PKPS) dengan mensinkronkan 5 skema tersebut sesuai PERMENLHK 83 tahun 2016.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *